Sabtu, 01 Mei 2010

Gadis Kebaya Ungu

Oleh : Rakai Lukman
Karya Terbaik 1
LUKH Cerpen Maret 2010
Jajaran reklame di jalan utama kota, spanduk dan kibar umbul-umbul diterpa angin barat seperti dadaku saat memandangnya duduk di bangku halte yang kusam. Gadis bermata elok, tubuhnya ramping dibalut kebaya. Pemandangan yang susah kutemui pada kota-kota metropolis di pulau Jawa. Ia mengalihkan perhatianku saat menikmati foto wajah selebriti jelita bersanding iklan seluler merk terbaru, yang kunikmati dengan mengulum bibir sendiri, berfantasi layaknya cumbu rayu jarak jauh. Ya, karena mumpung akal masih sehat, aku tidak memanjat papan setinggi lima meter itu dan menjilatinya lalu kalayak kota akan berbondong-bondong menyaksikan orang gila berkostum office boy, celana necis, berjas hitam, bersepatu dan berdasi.
Gadis itu sering menatap ke bawah seperti tersipu malu, gerak-gerik matanya sering mengarah ke kanan. Kesiur angin berdebu menerpa pipinya yang rona, tak mampu menghapus pandangku. Ada ketakutan kecil di hati, berpuas dengan melihatnya dari jarak kurang lebih sepuluh meter, itu pun di seberang jalan. Anehnya siang ini jalanan sepi, kemana mereka yang biasa lalu lalang di jalanan utama, penghubung antar desa-desa sebelah timur kota. Matahari begitu menyengat, untungnya saya di bawah pohon besar, satu-satunya di jalan utama yang berjarak radius 30 km. Gadis itu beratap seng, tapi tak terlihat peluh dan keringatnya. Udara sejuk dan sesekali angin membelai rambutnya, semakin mempesona dan mengetar jantungku.
Berita yang kudengar dan kutonton di radio dan televisi, berdasarkan ramalan cuaca badan meteorologi dan geofisika, akan terjadi hujan meteor dan badai besar. Tapi saya tak ambil peduli, ini saat menunaikan hasrat sepuas-puasnya, menyaksikan kekasih kesayangan di papan reklame itu, adalah keinginan yang kupendam dua bulan sejak iklan itu dipasang. Perempuan dengan belahan dada dan pantat bahenol di papan reklame itu seolah lenyap dari benakku begitu saja. Bahkan melesat pula nafsu bercinta dengannya. Gadis itu benar-benar menyelamatkan saya dari kegilaan. Apalagi tidak tampak ketegangan pada wajah gadis kebaya ungu itu, Ia semakin membius kesadaranku. Saya dan dia seolah dipertemukan oleh isu yang belum tentu kebenarannya.
Saya hanya pelayan warung makan, karena malu dengan orang sekampung tiap berangkat ke kota saya berseragam layak eksekutif muda. Maklum lulusan perguruan tinggi yang mitosnya kuliah di situ akan menjadi pengusaha atau birokrat bermobil mewah dan mempunyai istri cantik dan bermake up layaknya pergi ke acara-acara kalangan ekslusif, wajarlah bila sarjana muda dari kalangan petani sepertinya saya tidak ada peluang kerja yang diidam-idamkan banyak orang seperti PNS atau investator. Maklum tidak ada modal, mau melamar jadi PNS tidak diterima, meski uji kelayakan intelektual sudah mumpuni tapi kurang syarat utama, yakni uang sepuluh juta. Ingin jadi investor, mimpi siang bolong ni ye!
Gadis kebaya ungu tiba-tiba melempar senyum manis padaku, meski setipis korden jendela ruang tamu rumah ibuku. Seolah memanggil saya untuk menjabat tangannya yang kuning langsat dan halus itu. Tidak terasa sudah sejam saya berdiri di bawah pohon beringin yang konon berusia puluhan tahun, batangnya bersarung kain batik, akar-akar kecilnya bergantungan seperti hujan tak henti-henti, akar induknya menjadi penopang altar persembahan, saya melihat ada dupa kemenyan dan sesaji, berupa sembako dan buah-buahan. Saya jadi teringat masa kuliah, bersama kawan-kawan saya sehabis subuh selalu mengambilnya, karena kalau malam ramai pengunjung dan wisatawan, ada yang minta kaya, kedudukan tinggi dan sampai-sampai ada yang minta menang judi lewat SMS yang marak tersiar di televisi dan radio. Tiap pemohon membaca mantra-mantra kuno sesuai tujuannya. Mereka menggunakan bahasa kawi (Jawa kuno) tak satu pun kata yang saya kenal.
Pohon beringin itu adalah sisa-sisa aliran kepercayaan tua penghuni asli pulau Jawa, animisme-dinamisme, konon di bawah pohon itu juga Aji Saka dimakamkan, berdasarkan mitologi pribumi Jawa beliau yang babad alas pulau Jawa, yang konon jalmo moro jalmo mati. Pohon itu satu-satunya situs yang terpaksa dilindungi keberadaannya oleh pemerintah, karena kepercayaan masyarakarat terlampau mengakar. Adapun pohon yang lain berganti tiang listrik dan telpon, juga trotoar jalan seperti pematang sawah yang dibabat habis rumputnya oleh kemarau panjang berupa tata dan keindahan kota, berganti paving dan pot bunga.
Ah, Pohon beringin tua dan gadis kebaya ungu, kalian berdua benar-benar membuai saya siang ini. Beringin tua biarlah sekian saja riwayatmu. Gadis kebaya ungu sungguh saya tak bisa mengindahkanmu, begitu terserap, tersita, terpana, tak terasa waktu bergulir tambah satu jam. Dia tak pernah berdiri, duduk berpose laksana putri keraton. Sesekali ia menatapku dengan sorot mata yang teduh. Tetapi ia seperti melihat saya alien di seberang jalan atau sebaliknya ia mahluk asing berwajah rupawan, bukan seperti yang digambarkan NASA, bahwa aliensi itu buruk muka. Kebayanya yang ungu dan sanggul rambut bertusuk konde seperti ornamen tiga dimensi, sungguh sejuk hati meski sekedar memandangnya.
Mendung putih bagai kapas yang berhambur di angkasa, cerah matahari memoles sampai kilau, bagi penikmat alam tentu begitu indahnya hari ini. Tapi kemana kalayak yang biasanya meramaikan kota dengan gerakan yang bergegas menyelesaikan target hidup. Ya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang beraneka warna, yang semuanya telah campur aduk, berebut minta didahulukan. Barangkali mereka sudah menjadi budak iklan dengan pasukan andalannya sederetan papan reklame dan tayangan iklan televisi yang meminta untuk ditimang dan dibelai mesra, seperti perempuan cantik dan molek, yang ingin dijadikan pendamping sampai tersisa hanya jasad kaku tak berharga. Hari ini bukan karena itu, sebuah ketakutan menghantam dada dan menhancurkan kegigihan mereka. Kalian tahu kemana mereka sembunyi, pada dasarnya ketakutan sudah tertanam dalam batin mereka seperti kematian.
Hai gadis kebaya ungu, sebenarnya saya ingin berbagi kegundahanku tentang kesaksian akan kenyataan, tapi sebagai lelaki saya telah dididik televisi menjadi lelaki perayu dan tukang bual, tapi mesin penggeraknya seketika macet karenamu menyisihkan karakter kebanggaan alias playboy, bahwa saya setiap minggu sekali ganti pacar, ya mumpung masih muda dan modal tampang lumayan. Setidaknya perempuan akan tertunduk oleh kecanggihanku mengolah kata dan mengajaknya berwisata gaya eropa coy.
Adapun saya hanya terpaku, tersipu-sipu. Beruntung saat ini kota sepi, yang sesekali kesiur angin menyepuh wajah dan seragam office boyku, mampu menurunkan temperamen saya dari tegangan tinggi sebagai lelaki yang jatuh hati. Kau di halte dan saya di seberang jalan seperti sebuah pementasan dua aktor yang tersusun rapi skenarionya, bercerita tentang lelaki culun nan lugu bertemu gadis cantik yang cukup puas memandangnya dari jauh. Jari-jari saya bergerak-gerak seperti menari dan keringat dingin menyumbat pori-poriku sejak pertama menatap wajah ayu gadis kebaya ungu. Sebagai tanda kegelisahan lelaki yang tertusuk busur asmara. Kaki saya bergetar-getar, juga kesemutan, adakah kau lihat kegundahan ini melalui ekspresi senyum tipismu, oh gadis kebaya ungu?, ujar hati kecilku.
Awan-awan putih mulai menggumpal, menyerbu matahari. Sinarnya tertutup dan langit pun mendung. Awan menghitam mulai berarak semakin ramai menutup biru langit. Saya melawatkan pandang ke atas, pekatnya tak seperti biasa. Tekanan udara semakin memberat daun beringin bergoyang-goyang ke arah timur seperti ingin meninggalkan rantingnya yang elastis. Gerimis kiriman juga mulai turun, tapi daun beringin terlalu rapat hanya setetes dua tetes menimpa wajah dan rambut, mungkin juga jas hitam yang selalu saya seterika tiap pukul lima pagi, meski tidak pernah dicuci sejak beli di toko barang bekas.
Langit siang ini benar-benar gulita seperti malam. Awan-awan itu bersatu menjelma bentuk kubah. Meski jarak pandangku terhambat gedung-gedung bertingkat, juga swalayan di belakang halte berkarat itu. Namun tak sedikitpun ketakukan merayapi tulang sumsumku. Begitu juga gadis kebaya ungu, tiba-tiba ia beranjak dari kursi halte, berdiri dan melepas sanggulnya, rambut terurai, yang kukira tusuk konde ternyata lontar seperti yang saya jumpai di situs purbakala. Saya melihat jelas saat ia membukanya. Mulutnya mulai komat-kamit seperti merapal mantra. Suaranya lembut, lirih tapi telinga saya yang agak tuli bisa mendengarnya karena terlalu sering pakai headseat, mungkin sebab kota ini begitu sunyi dan angin menghantar suara kali ini sangat nyaring.
Kemudian ia menari bagai sinden seperti yang ada di kenanganku ketika menyaksikan pertunjukan wayang saat kecil dulu. Tiba-tiba Gerombolan awan di langit mendatangi gadis itu. Dengan melesat cepat menyelimuti tubuhnya, lalu berpusar pelahan makin lama semakin cepat. Ia menghampiriku, dia menjabat tanganku, aneh saya hanya membatu. Karena bisikan halusnya “Mari kekasihku, kita tinggalkan fana”. Lalu kami berpusar membentuk angin puting beliung, membabat gedung-gedung, papan-papan reklame, umbul-umbul, menghaburkan paving serta debu-debu.
Dalam pusaran kencang angin gadis kebaya ungu berujar “Saya adalah Dewi Sri yang murka sebab sawah tak lagi tumbuh padi, tapi rumah, gudang dan gedung” bibirku masih kaku tak mampu mengimbangnya. Ungkapan dia yang kedua “Kau, titisan kekasihku”. Sedang pohon beringin ini kami bawah berpusingan, anehnya masih utuh bahkan daun-daunnya tak satupun luruh. Dalam perjalanan kami mulai meninggal kota dan berangkat menuju kerajaan para dewa, kami disambut hangat oleh Bathara Wisnu, di gerbang istana langit terukir “Dasar segala bencana adalah tangan serakah manusia”. Dan kami pun menjadi sepasang mempelai yang tertunda kerinduannya beribu-ribu tahun sebelum manusia mengenal dongeng dan legenda. Sedangkan pohon beringin itu menghias taman para dewa dan malaikat.
Kota telah porak-poranda, hujan meteor hanya rekaan BMG saja. Langit cerah penduduk kota besoknya berhambur, kembali berwisata dengan bencana, bantuan berhamburan dari kota-kota dan desa-desa, bahkan antar pulau dan negara. Berdasarkan laporan badan survey, korban berjumlah ribuan manusia, binatang piaraan dan kerugian kota mencapai triliyunan rupiah. Itu sudah biasa, manipulasi data adalah kegemaran penduduk negeri ini, juga kotaku.
Sebulan kemudian gedung-gedung semakin menjulang ke langit, tak ada lagi taman kota, bahkan tempat ibadah menjadi kios-kios dan jendelanya penuh panflet dan poster, bahkan ada yang jualan sandal dan sepatu di mimbar. Saya dan gadis kebaya ungu hanya senyum-senyum, Manusia semakin menggila. Kami hanya tunggu aba-aba, memberi peringatan kedua pada manusia, tentu semakin dasyat, yang tak bisa diperhitungkan oleh prakiraan apapun, kecuali sang Pencipta.

Papringan februari 2009

Biodata Penulis
Nama Pena : Rakai Lukman
Nama Asli : Lukmanul Hakim
ALamat : Jl letjen soerprapto no 29 rt. 04 rw.03 sekapuk ujung pangkah gresik jatim
Karya : Antologi Bersama “KITAB PUISI I” Sanggar Jepit 2006, cerpen dan puisinya dimuat di majalah Sabili, bangkapost dan Balipost
Kontak person : 08563229239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar