Sabtu, 01 Mei 2010

Malammu dan Cerita Acil

Oleh : Sutana Hasby
Karya Terbaik 2
LUKH Cerpen Maret 2010

Semalam lalu kau beritahu dalam keadaan bermasalah. Banyak hal kini membuatmu tiada rasa gairah, setia, dan derma dari siapapun kecuali aku.

Ya, itu adanya malam lalu.

Malam ini kau tuangkan itu di telinga kananku, di bawah langit hitam berbintang sebelah tangan. Dalam hangatnya kopi sajian warung, kau terus larutkan ceritamu mengiring larutnya waktu ini.

Semilir angin tiup aralmu!

Banyak hal pikirmu menjadi aral langkah dan keinginan sebuah asa dirimu. Mesti tidak mencairkan batu koral penghalang, tapi kucoba melelehkan kristal yang betabur mengitari otak besarmu. Jadikan bentuk rumusan konsep hidup manusia yang diombak deru jati diri dan masa hidup kelak.

Malam semakin larut, selarut cerita gundahmu.

Masa dipelukan ibu, dibuaian keluarga, dan dikelakar ria kawan sepengertianmu, katamu, kini kau bagai cendawan yang menunas tidak di musimnya.

Tiada jawab pasti kuberi, hanya rangkaian kata sugesti coba menyalakan bara hidupmu. Sungguh kata-kataku pun tadi tak mampu menjadi martil melunakkan batu-batu penjanggal masalah. Begitu banyak manusia dalam masalah, begitu begunung gairah yang tertunda.

Fajar di ufuk, azan mengumandang

Kau masih berpikir akan aral itu. Kapan waktu tak berbatu aral, kapan malam tak lagi berbintang sebelah tangan. Seterangnya kuingin katakan masalah-masalah ku juga manusia lain.

Palingkan kewarasan pada sekelompok manusia-manusia di perempatan jalan, di trotoar jalan, dan belakang gedung menjulang di pinggir sungai kota yang kita tinggali ini.

Sebesar apa batu yang menjepit kehidupan mereka?

Kuingin cerita padamu, tentang si Acil anak yang terbuang. Usia baru sebelas tahun, lahir 11 Mei 1997. Ibunya meninggal akibat pendarahan waktu melahirkannya, ayahnya ditabrak truk di jalan protokol oleh truk pengangkut barang.

Rumah Sakit milik pemerintah sempat menelantarkan kesehatannya. Tapi ia tetap hidup dan diberinama tanpa qiqah oleh perawat dan mahasiswa yang magang di rumah sakit itu. Acil.

Tiada yang tahu maknanya. Tapi ia tumbuh seperti anak normal. Jangan kau tanya ia makan apa. Nasi bubur, susu formula, tak pernah ia cicipi.

Nasi bungkus, ya aku tahu. Ia makan bersama penarik becak yang mangkal di depan rumah kelahirannya itu, di rumah istirahat terakhir ibunya, Luise Aritma. Dan, rumah itu pula teriak tertahan, Cipto Listro, ayahnya yang mati ditabrak.

Kau mungkin berdehem atau iba membacanya. Tapi, tahukah kau masih banyak Acil-Acil di kota ini. Belum lagi deretan cerita pahit Luise Aritma, dan jutaan nasib seperti Cipto Lastro.

Kota memang tak berkata

Ibarat bingkai besar mirip baliho buat foto sekeluarga yang bertengger di dinding ruang tamu rumahmu. Kota ini hanya area saksi dan ring tinju strategi di dalamnya. Siapa yang untung warnanya kontras terlihat, siapa yang sial warnanya buram tak jelas.

Kuingatkan jangan pilih warna putih.

Karena ini bukan jaman perang dan penindasan kolonial. Matilah kau, bila tetap memilih warna dasar itu. Siapkan ruang kecewamu untuk bercak noda-noda penghianat, penjilat, penipu, dan bromocorah di kota ini.

Kutanya apa warna balaikota di kota ini? Putih kan! Kutanya lagi, ke mana sang pemimpinya? Ahk, masa kau tak tahu. Apa!!! Ya, kau tahu kenapa mereka di penjara sana? Kenapa mereka lakukan itu?

Udahlah, tak usah kau berdebat dengan soal sifat. Toh, sama saja dengan hampir seluruh penduduk di kota mu ini. Ya, tak jauh berbeda mungkin dengan pimpinanmu di kantor. Atau, mereka memang berteman dan pernah melakukan dan menempeli noda-noda tipuan di dinding balaikota bercat putih itu.

Iqro

Baca!!! itu yang diajarkan kitabku. Kalimat itu, kisahnya kalimat awal yang dibisikan pada nabi dalam agama Islam. Benar aku memeluk Islam. Kau? alhamdulillah ternyata kita seakidah.

Ya, kau benar. Katepe pimpinan di balaikota agamanya ditulis Islam. Kenapa kita jadi semakin larut cerita agama. Apa hubungannya.

Jangan sentimen begitu. Semua agama mengajarkan yang baik, yang bersahaja, berbudi perketi, dan berjiwa kesatria.

Kau kenapa nyinyir!

Satria itu bukan hanya di filem-filem kolosal. Kau salah juga kau benar. Ha…ha…, maaf ku hanya becanda. Tapi aku masih ragu dan bolehlah, sifat satria jadi salah satu item di polling memilih pemimpin di negeri ini.

Tidak cukup

Kenapa! ahk, bicara kita sudah ke politik. Kutak suka, jangan berpolitik praktis, itu merusak. Menghancurkan sistem yang ada. Lihat saja demonstrasi para buruh, unjuk rasa mahasiswa fakultas hukum, pertanian, ekonomi, dan sastra.

Aku setuju akan unjuk rasa itu bila soal keputusan wakil rakyat mensahkan regulasi pada rakyat yang memberi sumbangan pada gelandangan dan pengemis dilawan. Tapi, jangan berorasi dengan kumpulan kawan-kawan ramaimu, hanya teriak hapuskan aturan itu.

Kau mahasiswa bukan siswa. Ingat kata maha dipredikatmu. Ku tak lebih pintar darimu, karena aku bukan mahasiswa, hanya anak yang terbuang.

Cuma aku, lebih tahu rasa sengsara daripada kau. tanyalah pada ibumu, waktu kulitmu masih merah berapa lama ibunya meninggalkanmu. Tak pernahkan, bahkan babysister diperintahkan ayahmu selalu awas tentangmu.

Jadi jangan bicara soal rasa sengsara. Aku Acil, sudah es dua dalam hal itu. Ha…ha. Aku strata dua, ternyata.

Kenapa kau diam

Maaf, aku banyak bicara ya. Harus bagaimana lagi. Aku tak punya siapa-siapa. Kau tadi sudah dengar kata penarik becak itu kan. Aku Acil, anak terbuang di kota ini.

Jangan pergi, tolong duduklah denganku. Kawani aku tidur di kursi kayu putih ini. Ini kasurku, rumahku, istanaku, dan cita-cita ku ada di kursi ini. Aku tidak tidak bisa baca tulis, hanya bisa menggambar yang kulihat dan impikan.

Lihat ini. Pohon hutan mirip beringin. Sengaja hanya daunnya yang kugambar karena batangnya sudah jadi kursi yang kita pantati ini. Itu-itu, gambar pedang bukan pentungan. Sengaja kugambar di sudut kanan, agar mudah menghunuskan melawan mahluk jahat dalam mimpiku.

Nah, ini matahari bukan lingkaran mirip angka nol. Ya, aku gambar di ujung kakiku. Entah apa aku salah, seharusnya matahari letaknya di atas ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar